Pajak Progresif: Makin Besar Penghasilan, Makin Besar Pajaknya?

Jujur, waktu pertama kali dengar istilah “pajak progresif“, kepala aku langsung mikirnya ribet. Kayak apa sih bedanya sama pajak biasa? Tapi setelah baca-baca (dan ngerasain sendiri karena penghasilan naik-naik dikit), baru paham deh konsep dasarnya.

Pajak progresif itu sederhananya kayak ini: semakin besar penghasilan atau nilai objek pajaknya, semakin tinggi tarif pajaknya. Jadi beda dengan pajak proporsional yang flat atau sama rata. Sistem progresif ini dibuat supaya yang mampu, bayar lebih besar. Yang penghasilannya kecil, ya bebannya ringan.

Contohnya, kalau kamu berpenghasilan Rp50 juta setahun, kamu mungkin kena tarif pajak lebih kecil dari orang yang berpenghasilan Rp500 juta. Konsep ini dikenal sebagai “keadilan vertikal” dalam perpajakan.

Menurut Kemenkeu, prinsip pajak progresif ini bertujuan menciptakan keadilan sosial dan mengurangi kesenjangan antar kelompok masyarakat.

Apakah Pajak Progresif Masih Berlaku di Indonesia Saat Ini

Infografis tentang pajak progresif dari Sobat Buku, menjelaskan tarif PPh21 untuk penghasilan di bawah dan di atas 60 juta per tahun, serta tarif progresif STNK untuk kepemilikan kendaraan pertama dan ketiga

Banyak yang nanya, “Eh, itu pajak progresif masih berlaku nggak sih sekarang?” Jawabannya: iya, masih banget. Bahkan nggak cuma untuk penghasilan aja, tapi juga untuk kepemilikan kendaraan bermotor.

Di Indonesia, pajak penghasilan (PPh) perorangan sudah sejak lama menggunakan sistem progresif. Terakhir, tarifnya disesuaikan lewat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada 2021. Tujuannya ya, lagi-lagi, meningkatkan penerimaan negara sambil menjaga rasa keadilan.

Selain itu, pajak progresif juga diterapkan di daerah-daerah untuk kendaraan bermotor. Jadi kalau kamu punya lebih dari satu motor atau mobil yang atas nama kamu (atau nama yang sama di satu KK), siap-siap deh bayar lebih mahal.

Kebijakan ini juga mengacu pada Peraturan Daerah masing-masing provinsi. Jadi, tiap daerah bisa punya aturan financial berbeda soal berapa persen tarifnya.

Tarif Pajak: Dari Penghasilan hingga Kepemilikan Kendaraan

Nah ini dia yang mulai bikin pusing, tarifnya. Tapi tenang, aku bantu sederhanakan.

1. Pajak Penghasilan (PPh 21)

Berikut ini tarif pajak progresif orang pribadi per 2022:

  • Penghasilan kena pajak sampai Rp60 juta: 5%

  • Rp60 juta – Rp250 juta: 15%

  • Rp250 juta – Rp500 juta: 25%

  • Rp500 juta – Rp5 miliar: 30%

  • Di atas Rp5 miliar: 35%

Bayangin ya, dari 5% bisa loncat sampai 35%. Jadi emang makin gede penghasilan, makin tinggi beban pajaknya. Tapi, semua tetap dihitung bertahap alias bukan semua penghasilan langsung kena tarif tertinggi.

2. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)

Pajak progresif juga kena ke kendaraan kedua, ketiga, dan seterusnya. Aturannya disesuaikan dengan peraturan daerah, tapi secara umum:

  • Kendaraan pertama: 2%

  • Kendaraan kedua: 2,5%

  • Kendaraan ketiga: 3%

  • Dan seterusnya bisa naik hingga 10%

Khusus DKI Jakarta misalnya, pajak progresif bisa dilihat langsung via Samsat DKI Jakarta, sangat membantu buat ngecek tarif kendaraanmu.

Pajak Progresif Motor: Berlaku Mulai Kendaraan ke Berapa?

Kisah lucu nih, aku dulu sempat beli motor bekas buat keperluan antar jemput ke tempat kerja. Ternyata, karena motor pertama udah atas nama aku juga, eh motor kedua ini kena pajak progresif. Padahal kecil lho cc-nya. Tapi karena datanya di Samsat terbaca milik pribadi yang sama, ya udah kena.

Jadi, pajak progresif motor berlaku mulai dari kendaraan kedua dan seterusnya, dengan syarat:

  • Kendaraan terdaftar atas nama yang sama

  • Atau nama anggota keluarga dalam satu Kartu Keluarga (KK)

Makanya penting banget, kalau beli motor kedua, pikirin dulu atas nama siapa. Atau kalau bisa, dibalik nama aja sekalian biar nggak numpuk di satu identitas.

Berapa Pajak Progresif untuk Motor Kedua dan Seterusnya

Di banyak daerah, berikut contoh tarif pajak progresif motor:

  • Motor kedua: 2,5%

  • Motor ketiga: 3%

  • Motor keempat: 3,5%

  • Dan naik terus tiap unit tambahan

Nah, kalau nilai jual motornya misalnya Rp20 juta, berarti untuk motor kedua, pajak tahunan yang harus dibayar sekitar Rp500.000. Belum termasuk SWDKLLJ dan administrasi lainnya.

Jujur, ini bisa jadi beban tambahan terutama buat yang beli motor untuk keluarga. Tapi ya ini bagian dari regulasi buat ngurangin kemacetan dan pemborosan kendaraan.

Pajak Progresif Mobil: Siapa yang Kena dan Berapa Persentasenya

Ilustrasi pajak progresif oleh Kledo dengan seseorang duduk di atas tumpukan koin sambil menggunakan laptop, dikelilingi kalkulator besar dan dokumen bertuliskan 'TAX

Mobil juga kena, bahkan lebih ketat dibanding motor. Dulu temenku sempat kaget karena baru beli mobil baru, tapi biaya pajaknya membengkak. Ternyata itu mobil ketiga dalam satu KK.

Secara umum, tarifnya mirip motor, tapi nominalnya tentu lebih besar:

  • Mobil pertama: 2%

  • Mobil kedua: 2,5%

  • Mobil ketiga: 3%

  • Dan naik terus hingga batas tertentu (biasanya maksimal 10%)

Buat mobil dengan nilai jual Rp300 juta, pajak tahunannya bisa mulai dari Rp6 juta (belum progresif). Nah kalau itu mobil kedua, bisa tembus di atas Rp7,5 juta.

Bayangkan kalau kamu punya mobil buat bisnis (misalnya armada rental), dan semuanya atas nama pribadi. Kena pajak progresif semua!

Cara Mengetahui Mobil Kena Pajak Pro gresif atau Tidak

Cara paling gampang? Cek ke Samsat atau gunakan aplikasi e-Samsat provinsi masing-masing. Misalnya untuk DKI Jakarta, kamu bisa pakai layanan online dari Bapenda DKI.

Selain itu, kamu bisa:

  • Cek STNK tahun lalu vs tahun ini (kalau naik drastis, bisa jadi kena progresif)

  • Tanyakan langsung ke petugas Samsat

  • Bandingkan dengan mobil serupa milik teman yang statusnya kendaraan pertama

Atau kalau kamu mau “aman”, daftarkan kendaraan berikutnya atas nama orang lain dalam keluarga, yang beda KK. Cara ini lumayan efektif buat hindarin pajak progresif, tapi tentu tetap harus legal dan benar.

Pajak Progresif Properti: Apakah Berlaku?

Nah ini juga menarik. Meskipun judulnya bukan soal properti, tapi banyak yang masih bingung: “Kalau aku punya dua rumah, kena pajak progresif nggak?”

Jawabannya tidak dalam konteks PBB (Pajak Bumi dan Bangunan). Tapi untuk orang pribadi, kalau punya banyak properti dan menghasilkan penghasilan (misal dikontrakkan), penghasilan dari situ bisa kena PPh progresif. Jadi efeknya tetap terasa.

Beda cerita kalau kamu punya properti atas nama badan usaha, itu perhitungannya beda lagi. Tapi sebagai individu, tetap harus jujur dalam laporannya di SPT Tahunan.

Kontroversi dan Kritik atas Pajak Pro gresif

Kalau ngomongin keadilan, banyak yang setuju. Tapi nggak sedikit juga yang merasa pajak progresif itu mendisinsentif orang produktif. Maksudnya, buat apa kerja keras kalau ujungnya pajak kita dipotong lebih banyak?

Aku pribadi juga pernah mikir kayak gitu. Tapi setelah baca-baca referensi dari Harvard Business Review, ternyata sistem ini bisa membantu redistribusi kekayaan, dan jika digunakan dengan benar, malah memperkuat stabilitas sosial.

Yang bikin orang kadang geram adalah transparansi pemanfaatan pajak. Kalau uang rakyat dipakai efisien, orang pasti lebih rela bayar pajak.

Tips Menghindari Pajak Progresif yang Nggak Perlu

Bukan ngeles lho ya, tapi lebih ke strategi yang bijak:

  • Balik nama kendaraan kalau kamu beli bekas dan gak mau numpuk di satu identitas

  • Gunakan nama berbeda dalam keluarga untuk pembelian kendaraan kedua

  • Laporkan SPT secara lengkap, supaya penghitungan PPh kamu jelas dan gak bikin masalah di kemudian hari

Pajak itu penting, tapi nggak berarti kamu gak boleh cerdas ngatur. Sepanjang sesuai aturan, ya nggak ada salahnya.

Kesimpulan: Pajak Progresif sebagai Instrumen Keadilan Fiskal

Dari semua pengalaman ini, satu hal yang aku pelajari: pajak progresif bukan hukuman, tapi bentuk kontribusi proporsional. Negara butuh dana untuk jalanin fungsi-fungsinya—dari pendidikan, infrastruktur, sampai jaminan sosial. Dan cara yang relatif adil ya dengan sistem kayak gini.

Memang kadang terasa berat, apalagi saat penghasilan mulai naik dan kita sadar potongan makin gede. Tapi itu tanda kita tumbuh. Tanda kita sedang bantu sistem berjalan. Kalau mau sistem ini berhasil, pemerintah juga harus jaga transparansi dan efektivitas pengelolaan pajak. Kalau itu tercapai, rasa keberatan publik bisa menurun drastis.

Jadi ya, makin besar penghasilan, makin besar pajaknya? Iya. Tapi itu juga tanda kamu sedang mendekat ke level “kontributor negara.” Keren juga, ya.

Yang lagi gembar-gembor kemarin, semoga jangan sampai terjadi: Resesi Global: Harus Bersiap Hadapi Guncangan Ekonomi Dunia

Author

Scroll to Top