Learning Support: Tulang Punggung Operasional Pembelajaran

Jakarta, opinca.sch.id – Mari kita mulai dari satu pagi yang sederhana di ruang bimbingan belajar. Seorang siswi SMA, Rani, yang biasanya terlihat ceria, hari itu terlihat gelisah. Ia gagal dalam ujian matematika dan mulai merasa tidak cocok di jurusan IPA. Di sinilah learning support berperan.

Learning support bukan sekadar “tambahan” dalam sistem pendidikan. Ia adalah pilar pendukung, ruang aman, dan motor penggerak kemajuan akademik dan psikologis siswa.

Di balik prestasi siswa yang melonjak, sering kali ada satu tangan tak terlihat: konselor yang mendampingi proses adaptasi, tutor yang memandu cara belajar efektif, atau teknologi assistive yang memungkinkan siswa berkebutuhan khusus tetap mengikuti pelajaran.

Apa Itu Learning Support dan Mengapa Ini Bukan Lagi Pilihan?

Learning Support

Learning support secara sederhana berarti dukungan tambahan terhadap proses belajar yang diberikan kepada siswa atau mahasiswa yang mengalami hambatan—baik akademik, sosial, maupun emosional.

Tapi konsep ini bukan hanya untuk “anak-anak pintar” atau “anak berkebutuhan khusus” semata. Learning support hadir untuk semua yang membutuhkan dorongan, arah, atau bantuan dalam menjalani proses belajar yang kompleks dan personal.

Cakupan Learning Support:

  • Akademik:

    • Program remedial

    • Konsultasi tugas atau skripsi

    • Tutor sebaya atau guru pengganti

    • Klinik pelajaran (math clinic, science clinic, dll.)

  • Psikososial:

    • Konseling pribadi

    • Terapi belajar

    • Penanganan stres akademik dan burnout

  • Inklusivitas:

    • Akses bagi siswa disleksia, autisme, ADHD

    • Alat bantu dengar, reader screen, atau interpreter bahasa isyarat

  • Teknologi Pendukung:

    • Learning Management System (LMS)

    • E-learning platform seperti Moodle, Google Classroom

    • Aplikasi bimbingan belajar mandiri

Dengan kerangka seperti itu, learning support menjadi sistem operasional pendidikan yang sangat kompleks, namun krusial. Bukan hanya memoles, tapi menopang sistem pendidikan agar benar-benar inklusif dan responsif.

Learning Support dalam Praktik – Studi Kasus Sekolah dan Universitas

Kalau kamu bayangkan learning support hanya di ruang tertutup, kamu keliru. Sistem ini bisa jadi sangat terintegrasi dan kasat mata.

Contoh 1: Universitas Swasta di Bandung

Universitas ini memiliki Academic Support Center yang menyediakan:

  • Konsultasi penulisan ilmiah (bahkan untuk mahasiswa asing!)

  • Workshop anti plagiarisme

  • Klinik statistika untuk skripsi kuantitatif

Contoh 2: Sekolah Internasional di Jakarta Selatan

Punya Learning Support Division dengan tim multidisiplin:

  • Psikolog pendidikan

  • Spesialis kebutuhan khusus

  • Guru pendamping (shadow teacher)

Anak-anak dengan diagnosis disleksia, misalnya, tidak lagi “disalahkan” karena lambat membaca. Mereka diberi pendekatan multisensorik, ujian lisan jika perlu, dan perpanjangan waktu dalam evaluasi.

Contoh 3: SMK Negeri di Yogyakarta

Walau tidak semewah sekolah internasional, mereka punya inovasi sederhana:

  • Tutor sebaya (teman bantu teman)

  • Sesi refleksi mingguan

  • Google Form untuk evaluasi guru dan pelajaran

Semua itu, sesederhana apapun bentuknya, adalah bagian dari learning support yang sesungguhnya. Tak perlu mahal. Yang penting, bernyawa.

Tantangan Implementasi Learning Support di Indonesia

Di balik idealisme konsepnya, realita learning support masih menghadapi banyak tantangan—terutama dalam sistem pendidikan publik.

1. Kurangnya SDM Terlatih

Guru pembimbing khusus (GPK) masih sangat sedikit. Di banyak sekolah negeri, satu guru harus merangkap peran sebagai wali kelas, guru BK, dan koordinator OSIS.

2. Stigma terhadap Bantuan Psikologis

Masih banyak siswa—dan bahkan guru—yang menganggap “konseling” adalah tempat untuk murid bermasalah. Padahal, semua orang perlu ruang untuk mendengarkan dan didengarkan.

3. Keterbatasan Dana

Sekolah harus memprioritaskan hal-hal esensial terlebih dahulu seperti perbaikan fasilitas, gaji guru, atau logistik pembelajaran dasar.

4. Kurangnya Integrasi Teknologi

Beberapa sekolah bahkan belum punya LMS, apalagi sistem evaluasi berbasis data untuk menentukan siapa yang butuh intervensi learning support.

5. Kebijakan yang Belum Komprehensif

Walau Kurikulum Merdeka memberi ruang untuk personalisasi pembelajaran, belum ada sistem formal yang mengatur struktur learning support secara nasional.

Namun, setiap tantangan juga membuka peluang. Dan, kabar baiknya, banyak institusi kini mulai menyadari bahwa student wellbeing dan academic success tidak bisa dipisahkan.

Masa Depan Learning Support dan Rekomendasi Praktis

Jika Indonesia serius ingin memajukan kualitas pendidikan, learning support harus jadi bagian dari strategi nasional pendidikan. Tidak cukup menjadi proyek atau inisiatif guru tertentu.

Berikut adalah rekomendasi praktis untuk mewujudkan learning yang lebih kuat:

Untuk Sekolah dan Universitas:

  • Bentuk Unit Learning Support resmi, minimal terdiri dari konselor dan guru pendamping

  • Gunakan sistem digital untuk tracking perkembangan siswa

  • Adakan pelatihan wellbeing dan neurodiversity untuk guru secara rutin

Untuk Guru:

  • Perhatikan siswa yang performanya naik-turun drastis. Itu bukan “malas”, bisa jadi ada beban emosional

  • Libatkan siswa dalam evaluasi proses belajar. Tanyakan, “Apa yang kamu butuhkan agar bisa belajar lebih baik?”

Pemerintah:

  • Sediakan anggaran khusus dalam BOS untuk learning support program

  • Sertifikasi konselor sekolah dan fasilitator pembelajaran inklusif

  • Lakukan kerja sama dengan platform teknologi edukasi untuk memperluas akses learning digital

Untuk Orang Tua:

  • Jangan tunggu anak kesulitan parah baru mencari bantuan

  • Bekerja sama dengan guru, bukan menginterogasi

  • Validasi emosi anak, bukan hanya hasil akademik

Penutup: Pendidikan Tidak Harus Sempurna, Tapi Harus Manusiawi

Learning support bukan solusi instan, tapi ia adalah ruang yang memberi waktu bagi setiap anak untuk tumbuh sesuai ritmenya. Ia menyadarkan kita bahwa kecerdasan tidak selalu muncul dalam angka, dan kesuksesan tidak selalu hadir dalam keseragaman.

Saat seorang siswa yang tadinya pemurung mulai percaya diri presentasi di depan kelas, atau ketika seorang mahasiswa akhirnya lulus setelah bimbingan intensif tiga semester—itulah bukti bahwa learning support bukan fasilitas, tapi keadilan.

Dan bukankah itu tujuan pendidikan yang sesungguhnya?

Baca Juga Artikel dari: Investment Feasibility Study: When Does Broadband Pay Off? Real Stories, Real Numbers

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Management

Author

Scroll to Top