Saya mulai tertarik dengan istilah “hiperinflasi” waktu nonton dokumenter tentang Zimbabwe. Bayangkan saja, orang belanja roti dengan uang setumpuk. Saya kira itu cuma rekayasa film. Tapi ternyata itu kejadian nyata. Dan saat saya selidiki lebih lanjut, ternyata hiperinflasi adalah salah satu bencana ekonomi paling parah yang bisa menimpa suatu negara.
Sebagai seseorang yang pernah ngerasain harga kebutuhan pokok naik tiap minggu waktu krisis moneter 1998 di Indonesia, saya bisa bayangin betapa mengerikannya hidup di tengah hiperinflasi. Tapi sebenarnya, apa sih hiperinflasi itu? Dan kenapa bisa terjadi?
Apa Itu Hiperinflasi?
Hiperinflasi adalah kondisi kenaikan harga secara ekstrem dan tidak terkendali dalam waktu singkat. Jika inflasi normal berada di kisaran 2-3% per tahun, maka hiperinflasi bisa mencapai 50% per bulan atau lebih.
Artinya, barang yang hari ini kamu beli seharga Rp10.000 bisa jadi besok udah Rp20.000. Dalam jangka beberapa minggu, nilai uang benar-benar runtuh. Orang-orang akan kehilangan kepercayaan pada mata uang. Mereka lebih suka simpan barang, emas, bahkan makanan ketimbang uang tunai.
Hiperinflasi bukan cuma sekadar harga naik. Tapi keruntuhan sistem keuangan sebuah negara.
Ciri-Ciri Hiperinflasi
Dari banyak kisah yang saya pelajari, ada beberapa ciri umum yang biasanya muncul saat hiperinflasi menyerang:
-
Harga barang naik setiap hari, bahkan setiap jam
-
Gaji tak mampu mengejar kenaikan harga
-
Uang kehilangan nilai tukarnya
-
Transaksi dilakukan dengan barter atau mata uang asing
-
Pemerintah mencetak uang secara berlebihan
-
Kelangkaan barang terjadi di mana-mana
Ciri paling nyata adalah hilangnya kepercayaan publik terhadap mata uang lokal. Orang lebih memilih menyimpan dolar, logam mulia, atau bahkan sekadar beras.
Penyebab Hiperinflasi: Bukan Sekadar Cetak Uang
Salah satu mitos paling umum adalah “hiperinflasi terjadi karena negara mencetak uang terlalu banyak.” Itu ada benarnya, tapi bukan satu-satunya penyebab. Berikut penjelasan yang saya pahami dari berbagai sumber:
1. Defisit Anggaran Negara yang Parah
Saat pengeluaran pemerintah jauh lebih besar dari pendapatan, dan mereka tak punya cukup utang atau pajak untuk menutupinya, mereka memilih jalan pintas: mencetak uang baru.
2. Krisis Kepercayaan
Saat rakyat dan investor kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah dan bank sentral, mereka akan buru-buru menukar uang lokal ke bentuk aset lain. Ini memperparah depresiasi nilai mata uang.
3. Perang, Krisis Politik, atau Kerusuhan
Kondisi tidak stabil mempercepat anjloknya ekonomi. Dalam sejarah, hiperinflasi sering muncul setelah perang besar atau revolusi politik.
4. Hilangnya Produksi Nasional
Ketika sektor produksi lumpuh—akibat sanksi, perang, atau salah kebijakan—jumlah barang menurun drastis. Padahal uang beredar tetap banyak. Maka, hukum permintaan-penawaran pun bekerja: harga naik gila-gilaan.
5. Kebijakan Ekonomi Populis yang Salah
Beberapa negara mencoba menyubsidi semua harga barang, gaji pegawai dinaikkan tinggi, dan pajak diturunkan. Tapi tanpa pendapatan yang memadai, akhirnya utang menumpuk dan berujung pada pencetakan uang besar-besaran.
Contoh Kasus Nyata Hiperinflasi Dunia
Ada beberapa kasus legendaris yang benar-benar saya pelajari dan membuat saya kaget setengah mati.
1. Zimbabwe (2000–2009)
Ini kasus paling terkenal. Pemerintah Robert Mugabe melakukan reformasi agraria yang kacau, menggusur petani produktif dan mengganti dengan milisi loyalis yang tak punya pengalaman. Produksi pangan turun drastis.
Pemerintah mencetak uang untuk membayar utang dan gaji. Akibatnya? Inflasi mencapai 89,7 sextillion persen per bulan. Uang kertas dengan nominal 100 triliun dolar Zimbabwe pun dibuat. Tapi nilainya bahkan tak cukup untuk beli telur.
Orang lebih memilih dolar AS atau barter. Ekonomi benar-benar kolaps hingga akhirnya pemerintah mencabut mata uangnya sendiri.
2. Jerman (1921–1923)
Setelah kalah dalam Perang Dunia I, Jerman harus membayar reparasi besar. Pemerintah tak mampu membayar dan akhirnya mencetak uang besar-besaran.
Harga roti naik dari 250 mark ke 200 miliar mark hanya dalam beberapa bulan. Orang membawa uang pakai gerobak dorong. Bahkan anak-anak bermain dengan tumpukan uang karena nilainya tak lebih berharga dari kertas kosong.
Saya pernah baca cerita bahwa saat itu, lebih aman membakar uang untuk menghangatkan tubuh daripada membeli kayu bakar.
3. Venezuela (2016–2020)
Dengan cadangan minyak besar, Venezuela seharusnya makmur. Tapi salah urus ekonomi dan sanksi luar negeri membuat pendapatan anjlok. Pemerintah mencetak uang untuk menutupi defisit.
Hasilnya? Inflasi mencapai jutaan persen. Rakyat antre panjang demi kebutuhan pokok. Banyak yang kabur ke negara tetangga. Mata uang bolívar anjlok dan digantikan dolar AS secara informal.
Menurut IMF, Venezuela termasuk salah satu negara dengan kondisi inflasi ekstrem terparah dalam sejarah modern.
4. Hungaria (1945–1946)
Setelah Perang Dunia II, Hungaria mengalami inflasi sebesar 41,9 quadrillion persen dalam sebulan. Mereka bahkan menciptakan mata uang “adópengő” untuk menghitung pajak karena uang biasa sudah tak berfungsi lagi.
Nominal uang naik setiap hari. Bahkan sistem pembayaran menjadi tidak bisa digunakan secara digital maupun manual karena angka terlalu besar untuk ditangani mesin kasir.
Dampak Sosial dan Psikologis Hiperinflasi
Saya bisa bilang, hiperinflasi bukan sekadar bencana ekonomi, tapi bencana kemanusiaan. Berikut beberapa dampak yang benar-benar menghancurkan masyarakat:
-
Tabungan habis tak berharga
-
Harga naik lebih cepat dari gaji
-
Kelangkaan barang pokok
-
Kelaparan dan kemiskinan ekstrem
-
Tingkat kriminalitas naik
-
Migrasi massal
-
Tumbangnya pemerintahan
Orang-orang jadi kehilangan masa depan. Anak putus sekolah. Rumah dijual murah. Bahkan banyak yang menjual organ tubuhnya atau menjajakan diri demi makan.
Saya jadi sadar: stabilitas mata uang adalah salah satu fondasi keadilan sosial. Kalau nilainya hilang, segala sistem runtuh.
Indonesia Pernah Hampir Masuk Zona Hiperinflasi?
Kita mungkin belum pernah masuk kategori hiperinflasi, tapi krisis moneter 1998 jadi momen menegangkan. Nilai tukar rupiah jatuh dari Rp2.500 ke Rp15.000 per dolar dalam waktu singkat. Harga barang naik drastis. Tabungan orang anjlok.
Saya masih ingat ibu saya bolak-balik pasar karena harga beras naik tiap dua hari. Belanja jadi seperti lomba cepat. Banyak orang kehilangan pekerjaan dan terjadi kerusuhan sosial di berbagai kota.
Walau bukan hiperinflasi murni, pengalaman itu cukup untuk mengajarkan saya bahwa stabilitas financial ekonomi bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh.
Cara Negara Mengatasi Hiperinflasi
Mungkin kamu bertanya, “Kalau udah terlanjur hiperinflasi, bisa pulih gak?”
Jawabannya: bisa. Tapi butuh reformasi radikal dan kepercayaan publik. Beberapa langkah yang biasa dilakukan:
-
Menghentikan pencetakan uang
-
Mengganti mata uang (redenominasi)
-
Menarik uang dari peredaran
-
Menggunakan mata uang asing (dolarisasi)
-
Menaikkan suku bunga tinggi
-
Mendapat bantuan internasional
Zimbabwe misalnya, akhirnya berhenti pakai dolar Zimbabwe dan menggunakan dolar AS serta rand Afrika Selatan. Baru setelah itu ekonominya mulai stabil.
Apakah Hiperinflasi Masih Mungkin Terjadi?
Saya percaya bahwa hiperinflasi adalah sesuatu yang langka tapi mungkin, terutama di negara-negara dengan sistem fiskal lemah, konflik internal, atau pemimpin otoriter yang mencetak uang sesuka hati.
Itulah kenapa penting bagi setiap negara:
-
Menjaga anggaran negara tetap sehat
-
Menjaga independensi bank sentral
-
Tidak sembarangan mencetak uang
-
Transparan dalam kebijakan ekonomi
-
Edukasi publik soal nilai uang
Pelajaran yang Bisa Kita Ambil
Bagi saya pribadi, belajar soal hiperinflasi ngajarin banyak hal. Bukan cuma tentang ekonomi, tapi juga kepercayaan, tanggung jawab, dan pentingnya kebijakan yang bijak.
Hiperinflasi memperlihatkan bahwa:
-
Uang bisa kehilangan maknanya
-
Sistem bisa ambruk hanya karena hilangnya kepercayaan
-
Rakyat kecil selalu jadi korban pertama
Sebagai individu, saya juga jadi lebih peduli soal manajemen keuangan pribadi. Jangan taruh semua aset dalam satu bentuk. Diversifikasi. Dan pahami bahwa ekonomi bukan cuma urusan ahli—tapi nyawa kehidupan kita sehari-hari.
Cara menentukan harga rumah dengan: Valuasi Properti: Cara Menentukan Harga Jual dan Beli Rumah