Waktu pertama kali terjun ke dunia investasi saham, saya sempat kebingungan. Banyak saham naik, banyak juga yang anjlok tanpa saya ngerti kenapa. Saya cuma ikut-ikutan, dan hasilnya? Beberapa kali rugi karena beli saham saat “rame”, padahal harganya udah di puncak. Dari situ saya belajar, kalau beli saham nggak boleh asal-asalan. Harus tahu dulu: apakah harga valuasi saham itu wajar atau tidak?
Nah, di sinilah saya mulai kenalan sama yang namanya valuasi saham. Awalnya kedengeran rumit banget, tapi makin saya pelajari, ternyata logikanya cukup masuk akal. Valuasi ini kayak kamu lagi coba menebak “harga sebenarnya” dari sebuah barang, lalu membandingkannya dengan harga di pasaran.
Apa Itu Valuasi Saham?
Secara sederhana, valuasi saham adalah proses menghitung nilai intrinsik atau nilai sebenarnya dari suatu saham. Kita mencoba menilai, berapa sih seharusnya harga wajar sebuah saham berdasarkan kinerja dan kondisi keuangan perusahaannya.
Misalnya gini, kamu mau beli motor second. Kamu pasti lihat tahun keluaran, kilometer, servis terakhir, dll. Lalu kamu bandingkan dengan harga di pasaran. Nah, prinsip valuasi saham mirip seperti itu—bedanya, objeknya perusahaan, bukan motor.
Tujuan utama valuasi? Supaya kita tahu apakah saham sedang undervalued (murah), overvalued (mahal), atau fair value (pas).
Kenapa Valuasi Itu Penting?
Setelah beberapa tahun jadi investor ritel, saya bisa bilang: valuasi itu semacam GPS buat investasi. Tanpa valuasi, kita kayak nyetir tanpa peta. Kita nggak tahu ke mana arah saham akan bergerak.
Beberapa alasan kenapa valuasi saham penting banget:
-
Menghindari beli di harga puncak. Jangan sampai beli saham pas euforia padahal harganya udah di atas nilai wajarnya.
-
Menentukan titik masuk dan keluar. Saya biasanya beli saham yang valuasinya masih rendah dan mulai jual saat mulai mahal.
-
Membantu prioritas portofolio. Misal ada 3 saham bagus, saya pilih yang valuasinya paling menarik.
Metode Valuasi Saham yang Paling Sering Saya Gunakan
Berikut ini beberapa metode valuasi yang pernah saya pakai. Saya urutkan dari yang paling umum sampai yang paling “matang” secara teori.
1. Price to Earnings Ratio (P/E Ratio)
Ini metode paling populer dan juga paling gampang digunakan.
Rumusnya:
Contohnya, kalau harga saham perusahaan ABC adalah Rp1.000 dan EPS-nya Rp100, maka P/E-nya adalah 10. Artinya, orang rela bayar 10 kali laba per tahun untuk beli saham itu.
Tips dari saya:
-
Bandingkan P/E antar perusahaan di industri yang sama.
-
P/E tinggi belum tentu jelek (bisa jadi ekspektasi pertumbuhan tinggi), tapi hati-hati kalau terlalu tinggi tanpa dukungan fundamental.
2. Price to Book Value (P/BV Ratio)
P/BV Ratio adalah perbandingan antara harga saham dan nilai buku perusahaan (aset dikurangi utang).
Rumusnya:
Kalau P/BV < 1, berarti harga saham lebih murah daripada nilai bukunya. Cocok banget untuk saham sektor keuangan atau properti.
3. Dividend Discount Model (DDM)
Metode ini saya pakai untuk Valuasi Saham yang rutin bagi dividen, seperti sektor perbankan.
Rumus:
Misal, saham XYZ rutin kasih dividen Rp100 per tahun. Jika saya ingin return 10% dan pertumbuhan dividen diprediksi 5%, maka:
DDM cocok untuk:
-
Saham blue chip
-
Emiten yang stabil
4. Discounted Cash Flow (DCF)
Ini favorit saya untuk saham growth—perusahaan yang masih berkembang dan belum banyak kasih dividen.
Konsepnya: menghitung semua proyeksi arus kas di masa depan, lalu didiskon ke nilai saat ini.
Memang rumit, karena kita harus buat asumsi:
-
Pertumbuhan pendapatan
-
Margin laba
-
Biaya modal
-
Tingkat diskonto
Tapi kalau kamu bisa bikin proyeksi yang realistis, hasil Valuasi Saham ini sangat powerful.
Saya pribadi pernah menghitung DCF untuk saham teknologi lokal, dan hasil valuasinya memberi saya kepercayaan diri untuk beli saat harganya tertekan. Ternyata, dua tahun kemudian sahamnya naik 3x lipat.
5. Price to Sales Ratio (P/S Ratio)
Metode ini cocok untuk perusahaan yang belum profit tapi punya pertumbuhan revenue tinggi (startup, teknologi, biotech, dll).
Rumus:
Simpel, dan bisa jadi petunjuk awal apakah saham terlalu mahal untuk ukurannya.
6. PEG Ratio (Price/Earnings to Growth)
PEG adalah modifikasi dari P/E Ratio, yang juga memperhitungkan pertumbuhan laba.
Rumus:
Idealnya, nilai PEG < 1 dianggap menarik (valuasi masih wajar atau murah untuk tingkat pertumbuhan tertentu).
Faktor Lain yang Mempengaruhi Valuasi Saham
Saat melakukan valuasi, saya juga mempertimbangkan faktor eksternal yang bisa memengaruhi nilai financial saham:
-
Tren industri: Valuasi emiten batu bara bisa berubah drastis seiring harga komoditas.
-
Suku bunga dan inflasi: Ini memengaruhi tingkat diskonto dalam DCF.
-
Sentimen pasar: Kadang harga saham bergerak karena “perasaan” pasar, bukan logika bisnis.
-
Kebijakan pemerintah: Pajak baru, subsidi, atau regulasi bisa menambah atau mengurangi nilai suatu sektor.
Valuasi itu penting, tapi bukan segalanya. Saya selalu gabungkan valuasi dengan analisis fundamental dan kondisi makro ekonomi.
Tools Valuasi Saham Gratis yang Saya Gunakan
Kalau kamu ingin mulai belajar Valuasi Saham, saya sarankan coba beberapa tools ini:
-
RTI Business App: Buat pantau data keuangan dan rasio valuasi.
-
Stockbit dan IDX Mobile: Nyaman dipakai dan user friendly.
-
Screener.id atau Investing.com: Bisa filter saham berdasarkan P/E, PBV, ROE, dll.
-
Untuk teori dan studi kasus lengkap, saya suka merujuk ke Investopedia karena penjelasannya komprehensif dan tersedia dalam berbagai pendekatan analisis.
Pengalaman Pribadi Menggunakan Valuasi Saham
Saya pernah beli saham bank BUKU 2 saat P/BV-nya cuma 0.6x. Banyak yang ragu karena laba menurun. Tapi setelah baca laporan keuangannya, saya percaya fundamentalnya masih solid. Saya beli, dan dalam waktu 1,5 tahun, saham itu naik 80%.
Saya juga pernah salah. Beli saham teknologi dengan P/S Ratio 30x tanpa analisis mendalam. Saya terlalu percaya hype. Hasilnya? Sahamnya turun 40%. Dari situ saya belajar bahwa valuasi penting, tapi harus sejalan dengan kualitas perusahaan dan prospek bisnis.
Kapan Harus Menggunakan Metode yang Mana?
Metode | Cocok Untuk |
---|---|
P/E Ratio | Emiten mapan dan sudah profit |
P/BV Ratio | Sektor keuangan, properti |
DDM | Saham yang rutin bagi dividen |
DCF | Growth stocks, teknologi |
P/S Ratio | Startup, perusahaan rugi tapi bertumbuh |
PEG | Kombinasi nilai dan pertumbuhan |
Kesimpulan: Jangan Beli Saham Tanpa Nilai
Saya selalu bilang ke teman-teman investor pemula: Jangan pernah beli saham hanya karena “rame” atau “viral”. Lihat dulu valuasinya. Kalau ternyata sudah overvalued, kita sedang beli impian, bukan bisnis.
Valuasi membantu saya berpikir lebih rasional. Dengan mempelajari valuasi saham, kita bisa jadi investor yang tenang, berpikir jangka panjang, dan mengambil keputusan berdasarkan data, bukan emosi.
Dan yang paling penting, valuasi bukan sekadar angka. Itu cermin dari ekspektasi, harapan, dan performa bisnis yang nyata.
Main aman dengan mulai pelan-pelan pakai: Investasi Indeks: Keuntungan dan Cara Memulainya