Operational Workflow, saya pernah bertanya pada pemilik sebuah coffee shop kekinian di Jakarta yang cabangnya sudah ada di 6 kota:
“Mas, gimana bisa kafe Mas jalan terus padahal Mas sering keliling ke luar kota?”
Dia jawab santai, “Ya, karena workflow kita rapi. Bahkan saya udah nggak harus approve semua hal kecil.”
Jawaban itu langsung bikin saya penasaran.
Operational workflow. Dua kata yang mungkin terdengar teknis dan kaku, tapi ternyata… inilah fondasi diam-diam yang menentukan apakah sebuah bisnis bisa scale, bisa didelegasikan, atau justru stuck karena semua keputusan harus lewat bos.
Di dunia bisnis modern—baik startup, UMKM, agensi kreatif, hingga organisasi sosial—workflow bukan sekadar dokumentasi. Tapi sistem hidup yang memastikan roda berputar.
Apa Itu Operational Workflow?
Oke, kita mulai dari dasar.
Operational workflow adalah serangkaian proses atau langkah kerja yang dilakukan secara berurutan dan konsisten untuk mencapai hasil tertentu dalam operasional bisnis.
Singkatnya: alurnya kerja harian. Bukan strategi. Bukan mimpi. Tapi “gimana kerjaan dari A sampai Z dilakuin tiap hari.”
Contoh Sederhana:
Misalnya, workflow order online di toko kaos:
-
Pesanan masuk via Shopee
-
Admin konfirmasi stok
-
Gudang siapkan barang
-
Barang dikemas dan tempel resi
-
Kurir pickup
-
Admin update status ke customer
Kalau semua langkah ini sudah jelas dan terstandarisasi, itu namanya workflow.
Beda dengan SOP (Standard Operating Procedure)?
Ya, beda tipis. SOP itu dokumen aturan, biasanya formal dan teoretis. Workflow itu lebih hidup dan operasional—kadang berbentuk diagram, kadang Google Sheet, kadang di kepala tim (walau sebaiknya jangan cuma di kepala).
Kenapa Operational Workflow Itu Penting
Banyak bisnis baru gagal bukan karena produknya jelek, tapi karena proses di belakang layarnya berantakan. Semua orang kerja keras, tapi nggak tahu arah. Yang satu kirim barang, yang lain belum tahu orderan masuk.
Nah, operational workflow itu ibarat peta dan kompas buat tim.
1. Bikin Kerja Jadi Konsisten
Tanpa workflow, setiap orang kerja dengan “gayanya sendiri”. Hari ini admin A jawab pelanggan cepat, besok admin B bikin pelanggan ngambek. Workflow menjaga kualitas layanan tetap stabil.
2. Hemat Waktu, Energi, dan Biaya
Workflow yang rapi mengurangi repetisi dan kesalahan. Enggak perlu bolak-balik tanya, enggak perlu perbaiki kesalahan yang sama berulang kali.
3. Siap untuk Scaling
Punya 3 cabang? 30 orang tim? Kalau workflows udah ada, tinggal salin sistemnya. Tim baru tinggal belajar dari proses yang sudah mapan.
4. Mudah Delegasi
Bayangkan kamu sebagai owner bisnis. Kalau semua kerjaan cuma kamu yang ngerti, kapan liburnya? Workflow bikin kamu bisa lepas kendali harian tapi tetap tenang.
“Workflow itu bikin tim bisa kerja walau saya lagi libur lebaran,” kata Dita, founder brand skincare lokal.
Unsur Penting dalam Operational Workflow yang Efektif
Workflow yang asal-asalan bisa bikin makin ribet. Tapi workflow yang solid biasanya punya unsur-unsur berikut ini:
1. Alur Proses yang Jelas
Tiap langkah harus detail dan urut. Siapa mulai duluan, siapa pegang bagian apa, dan kapan selesai.
Contoh:
Step 1: Admin terima order → Step 2: Konfirmasi stok ke gudang → Step 3: Tim gudang packing → Step 4: Admin input resi → Step 5: CS update pelanggan.
2. Penanggung Jawab (PIC)
Setiap langkah harus ada nama yang bertanggung jawab. Bukan “kita semua”, tapi “siapa tepatnya”.
3. Tools yang Dipakai
Sebutkan aplikasi atau sistem yang digunakan di setiap proses:
-
Trello, Notion, Asana (untuk task management)
-
GDrive, Sheets (untuk dokumentasi)
-
POS System (untuk transaksi)
-
Jurnal atau Accurate (untuk akuntansi)
4. Output yang Terukur
Setiap proses harus punya indikator keberhasilan.
Misalnya:
-
Admin harus input resi maksimal 1×24 jam
-
Gudang wajib kirim barang sebelum jam 3 sore
-
CS wajib balas chat dalam 5 menit
Tanpa target, workflow jadi kabur.
5. Review dan Evaluasi Berkala
Workflow bukan kitab suci. Harus bisa dievaluasi dan disesuaikan sesuai perkembangan tim dan teknologi.
Tools dan Platform Populer untuk Membuat Workflow Operasional
Kalau kamu merasa semua ini terdengar ribet, tenang. Banyak tools yang bisa bantu kamu menyusun dan menjalankan workflow tanpa harus jago IT.
Tools Visual Workflow:
-
Lucidchart
Gampang banget buat bikin flowchart kerja tim. -
Miro
Kolaboratif, cocok buat brainstorming dan visualisasi proses. -
Notion
Operational Workflow All-in-one workspace yang bisa dipakai bikin checklist, SOP, timeline, dan tracker.
Tool Manajemen Tugas:
-
Trello
Untuk workflow berbasis kartu (kanban). Enak buat tim kecil. -
ClickUp / Asana
Lebih kompleks, cocok buat agensi atau perusahaan growing. -
Google Workspace
Mulai dari Sheet, Docs, sampai Form. Murah dan fleksibel.
Tools Otomasi:
-
Zapier / Make.com
Otomatiskan proses antar aplikasi (misal: kalau order masuk → otomatis input ke spreadsheet).
Studi Kasus Mini: Workflow Bikin Bisnis Fashion UKM Naik 3x Lipat
Saya mewawancarai Bagus, owner brand fashion lokal yang dulunya cuma punya 2 orang tim: dia sendiri dan pacarnya. Setiap hari kerja sampai malam cuma untuk input order, balas chat, kirim barang, dan hitung stok.
Sampai akhirnya mereka bikin workflow sederhana:
-
Excel otomatis dengan formula stok masuk-keluar
-
Template chat di WhatsApp Business
-
Checklist harian packing via Trello
-
Jam kerja terstruktur (chat hanya dibalas jam 9–12 dan 3–6 sore)
Setelah itu?
Mereka bisa hire 2 orang baru dengan cepat karena proses onboarding-nya jelas. Orderan bisa naik 3x lipat tanpa burnout.
“Dulu bisnis ini milik kita. Sekarang, bisnis ini jadi sistem yang bisa dijalankan siapa pun,” kata Bagus sambil senyum bangga.
Tantangan dalam Menyusun Workflow (Dan Gimana Menghadapinya)
Operational Workflow, tidak semua tim bisa langsung punya workflow rapi sejak awal. Berikut beberapa kendala umum:
1. Semua Masih Manual
Tenang. Mulai dari workflow manual pun nggak masalah, asalkan konsisten. Tulis dulu di kertas, baru nanti pindah ke digital.
2. Tim Belum Terbiasa
Biasanya muncul penolakan: “Lah, ribet banget sih sekarang harus checklist segala.”
Solusinya? Libatkan tim dalam menyusun workflow. Biar merasa memiliki.
3. Proses Terlalu Sering Berubah
Ini bisa bikin workflow jadi “useless”. Makanya, pastikan prosesnya stabil dulu minimal 1 bulan baru dijadikan workflow tetap.
Penutup: Operational Workflow Itu Seperti Peta, Tanpa Itu Kita Cuma Muter-Muter
Di era serba cepat ini, kita sering terlalu fokus ke strategi besar dan marketing bombastis, tapi lupa membenahi mekanisme dasar operasional.
Padahal, justru dari situlah fondasi bisnis dibangun.
Operational workflow bukan soal dokumentasi. Tapi tentang tanggung jawab, transparansi, dan efisiensi.
Kalau tim kamu bisa kerja tanpa kamu terus-menerus pantau, itu artinya workflow kamu bekerja.
Jadi, sebelum hire banyak orang, sebelum pasang iklan gede-gedean, sebelum scale ke kota lain—pastikan workflow kamu sudah jalan dengan benar.
Karena bisnis bukan soal kerja keras semata, tapi kerja cerdas dan sistematis.
Baca Juga Artikel dari: Operational Efficiency: Senjata Rahasia Bisnis yang Mau Tumbuh
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Management